Beberapa waktu yang lalu dunia maya sempat diramaikan oleh percobaan waktu kerja empat hari yang dilakukan beberapa perusahaan di Jepang, Selandia Baru, dan Spanyol. Beberapa perusahaan tersebut meminta pegawainya untuk bekerja empat hari dalam seminggu tanpa ada potongan gaji. Hasilnya cukup unik. Beberapa perusahaan mengakui adanya peningkatan produktivitas, namun beberapa mengaku tidak menemui perubahan yang signifikan bahkan memunculkan masalah yang baru.
Bekerja 40 jam atau 5 hari per minggu pertama kali dipopulerkan oleh Henry Ford, Founder Ford Motor Company pada tahun 1926. Sebelumnya, pegawai pada masa revolusi industri bekerja selama 80 s.d. 100 jam per minggu. Hal ini mendorong aktivis dan persatuan pekerja untuk menuntut jam kerja yang lebih manusiawi. Proses advokasi aktivis dan persatuan pekerja dengan pemerintah kala itu terjadi secara alot. Namun pada akhirnya, setelah terobosan yang dilakukan Henry Ford, pemerintah US mengesahkan peraturan bekerja 40 jam perminggu pada tahun 1940.
Enam puluh tahun berlalu, apakah sistem ini masih relevan? Terlebih sejak pandemi melanda dan kebijakan working from home (WFH) mulai diberlakukan, waktu bekerja menjadi lebur dengan waktu pribadi. Burnout dan stres banyak dirasakan oleh mereka yang mengalami transisi ini. Berangkat dari fenomena inilah beberapa negara dan perusahaan melakukan percobaan waktu kerja empat hari dengan harapan pegawai dapat bekerja lebih efektif dan memiliki waktu lebih banyak untuk kehidupan pribadinya.
Percobaan di Selandia Baru merupakan salah satu percobaan yang mendapatkan banyak sorotan. Percobaan ini dilakukan terhadap 2.500 pegawai dalam kurun waktu empat tahun. Autonomy, perusahaan think tank asal Inggris yang memprakarsai penelitian ini mengumumkan bahwa jam kerja yang lebih singkat membuat partisipan lebih bahagia dan produktif dalam bekerja. Kini, pegawai kota dan sektor publik di Selandia Baru bekerja 36 jam per hari.
Waktu kerja empat hari ini tentunya membawa suasana baru bagi budaya kerja. Dalam waktu yang lebih singkat, pegawai harus bisa fokus dalam menentukan prioritas pekerjaan. Meeting yang dilaksanakan juga harusnya lebih efektif. Tak lupa juga, distraksi-distraksi seperti berselancar di media sosial atau mengerjakan kepentingan pribadi harus diminimalisir di waktu kerja.
Oleh karenanya, sebuah perusahaan perlu melakukan persiapan yang terpadu jika ingin menerapkan waktu kerja empat hati. Beberapa perusahaan seperti Unilever dan Kickstarter telah melangkahkan kakinya dengan menguji efektivitas dari sistem bekerja ini. Sejak November 2020, Unilever mengadakan percobaan waktu kerja empat hari di kantornya di New Zealand. Belum ada hasil yang bisa kita lihat dari percobaan ini karena percobaan masih akan berlangsung hingga Desember 2021.
Selain itu, Kickstarter, perusahaan platform crowdfunding asal Amerika Serikat, berencana akan menerapkan durasi bekerja 32 jam per minggu mulai tahun 2022. Aziz Hasan selaku CEO Kickstarter optimis bahwa sistem ini akan meningkatkan produktivitas pegawainya. Beliau juga menjelaskan pada Wall Street Journal bahwa saat ini Kickstarter sedang mempersiapkan berbagai solusi agar penerapan sistem bekerja 32 jam perminggu dapat lebih efektif.
Waktu kerja empat hari memang memunculkan banyak tanya bagi pegawai maupun pemimpin perusahaan. Bisakah untuk diterapkan? Bagaimana memulainya?
Berikut adalah beberapa langkah langkah yang bisa ditempuh oleh perusahaan yang tertarik untuk menerapkan waktu kerja yang lebih singkat ini.
1. Mengubah Mindset
Untuk menerapkan waktu kerja yang lebih singkat, para pemimpin perusahaan perlu mengubah mindset bahwa produktivitas tidak hanya dinilai dari durasi bekerja, tetapi hasil pekerjaannya itu sendiri. Dikarenakan sistem ini merupakan sistem yang baru, para pemimpin juga perlu menjadi model bagi timnya dalam mengelola waktu bekerja dengan waktu untuk pribadi. Dengan ini, pegawai tidak merasa bersalah dengan waktu kerja yang semakin singkat dan terpacu untuk bekerja lebih efektif. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada beberapa pegawai yang tidak cocok dengan sistem baru ini. Ini adalah hal yang wajar. Yang penting, manajer harus bersifat terbuka atas saran dan keluhan dari timnya dan terus memperbaiki sistem yang ada.
2. Tentukan Tujuan dan Pengukuran Produktivitas
Tidak hanya perubahan struktural, seluruh pegawai dalam perusahaan perlu sadar akan adanya perubahan kultural yang terjadi akibat sistem yang baru ini. Perlu keterbukaan dari tim maupun pemimpin untuk bersama-sama menciptakan peraturan maupun target bekerja yang baik untuk semua. Misalnya, beberapa hal yang perlu diputuskan bersama-sama adalah hari mana yang akan dieliminasi dari hari kerja dan bagaimana pengurangan jam kerja ini tidak mengganggu hubungan dengan klien maupun stakeholder lainnya. Selain itu, perusahaan juga perlu mempersiapkan bagaimana mereka akan mengukur produktivitas pegawai serta dukungan/fasilitas yang perlu dipersiapkan untuk mengeliminasi risiko yang mungkin muncul.
3. Mengomunikasikan Sistem Baru ke Pihak Eksternal
Beberapa perusahaan mengkhawatirkan jam kerja yang lebih singkat akan berdampak buruk terhadap hubungan dengan klien. Namun dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ashley Whillans, asisten profesor di Harvard Business School, membuktikan bahwa jam kerja yang lebih singkat malah mendatangkan kepuasan untuk klien eksternal. Di penelitiannya, Whillans meminta pegawai untuk menyisihkan dua jam per hari untuk mengerjakan proyek yang penting namun tidak urgen. Dalam dua jam ini, pegawai harus mematikan semua distraksi seperti notifikasi chat atau email dari klien agar fokus. Hasilnya, terdapat peningkatan produktivitas dan kebahagiaan pegawai yang kemudian berdampak baik pula bagi kepuasan klien.
4. Melakukan Percobaan dan Mengevaluasinya
Pada tahap ini, percobaan yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi proses maupun alat yang dibutuhkan untuk membuat perubahan lebih efektif. Besar kemungkinan selama masa percobaan ini terdapat permasalahan baru. Di sinilah peran evaluasi menjadi penting. Lakukanlah penilaian kuantitatif maupun kualitatif terhadap sistem yang dikembangkan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian penting adalah produktivitas pegawai, kualitas pekerjaan, hubungan antarpegawai, dan juga kesejahteraan pegawai.
5. Scale Up the Game!
Apabila perusahaan memutuskan untuk mengadopsi sistem 4 hari kerja maka perlu adanya strategi jangka panjang. Isu yang muncul dalam masa percobaan tentu perlu diatasi, namun bukan berarti isu akan berhenti muncul sampai situ saja. Selama penerapannya, perusahaan perlu melakukan pengawasan dan perbaikan secara berkala agar perubahan ini membawa dampak positif untuk jangka panjang.
Itu dia langkah-langkah yang bisa dilakukan perusahaan yang tertarik mencoba waktu kerja empat hari.
Apakah kamu tertarik untuk mencoba waktu kerja yang lebih singkat ini? Bagikan pendapatmu di kolom komentar ya!
Comments